Jepara, suaragardanasional.com | Tradisi ibarat buah mangga.Pada mulanya pahit ditentang,diragukan,dianggap tak masuk akal.Lalu berubah masam,hanya dinikmati oleh segelintir orang yang kuat mencerna.Kemudian,ketika mulai manis, semua orang menyukainya, mewariskannya turun-temurun,hingga dianggap sakral.Namun,lambat laun,ia membusuk tak lagi segar,tak lagi memberi nutrisi,hanya tersisa kulit kering dan biji yang keras.
Siklus Tradisi: Dari Perlawanan Menjadi Belenggu
1.Fase Pahit,Setiap tradisi bermula sebagai sesuatu yang baru,seringkali ditolak karena mengganggu kemapanan.
2.Fase Masam,hanya mereka yang berpikiran terbuka atau punya kepentingan yang mau menerimanya.
3.Fase Manis,tradisi itu akhirnya diakui,dihormati, bahkan dikeramatkan.
4.Fase Busuk,Tradisi menjadi kaku,tak lagi relevan,bahkan menindas. Ia tetap dipertahankan bukan karena manfaatnya, tapi karena ketakutan akan perubahan.
Banyak tradisi yang awalnya mulia, lama-kelamaan berubah menjadi alat kontrol, membelenggu manusia atas nama "kelestarian". Padahal,hakikat tradisi seharusnya melayani kehidupan,bukan sebaliknya.
Ketika Tradisi Menjadi Sumber Penderitaan
Jika tradisi hanya menyakiti,apakah ia masih pantas disebut "kearifan"?
Jika adat hanya melestarikan penderitaan, bukankah lebih baik ia diubah?
Jika kebiasaan lama justru menghambat kemajuan,mengapa kita takut melepaskannya?
Tradisi seharusnya seperti sungai—mengalir,menyesuaikan,membersihkan diri.Bila airnya sudah keruh dan beracun, ia tak lagi memberi kehidupan,melainkan penyakit.
Mengubur yang Busuk,Menumbuhkan yang Baru
Kita tidak boleh terjebak dalam romantisme masa lalu. Yang abadi bukanlah bentuk tradisi, tapi nilainya. Pertahankan ruhnya,dan sesuaikan wujudnya dengan zaman.
Hormati nenek moyang,tapi jangan korbankan generasi sekarang demi dogma yang sudah tak bermakna.
Jangan sakralkan yang kolot, hanya karena takut dianggap tidak setia pada leluhur.
Seperti biji mangga yang jatuh ke tanah, tradisi yang sudah busuk harus dikubur agar yang baru bisa tumbuh.Kematian satu tradisi adalah awal kelahiran tradisi lain yang lebih hidup.
Tradisi Sejati adalah yang Membebaskan
Tradisi yang benar tidak akan membelenggu,tidak akan menakut-nakuti, tidak akan memaksa.Ia akan:
Memberi makna,bukan sekadar rutinitas atau seremonial.
Memuliakan manusia,bukan mengeksploitasi
Beradaptasi dengan zaman,bukan menolak perubahan.
"Yang abadi bukanlah bentuknya,tapi jiwa yang mengalir di dalamnya.Tradisi sejati adalah yang tetap hidup karena ia bernafas bersama zaman, bukan terpenjara oleh masa lalu."
Berani Melepas, Berani Bertumbuh
Jika suatu tradisi hanya menyisakan penderitaan, ia sudah menjadi bangkai—tak layak dipertahankan. Kita harus berani menguburnya dengan hormat, lalu menanam benih baru yang lebih segar, lebih relevan, dan lebih manusiawi.
Jangan mempertahankan yang busuk hanya karena nostalgia. Jangan takut menciptakan tradisi baru yang lebih baik.
Seperti mangga—biarkan yang busuk kembali ke tanah, agar pohon baru bisa tumbuh, berbuah manis, dan memberi kehidupan lagi.Itulah hukum alam. Itulah kebijaksanaan sejati.
Wajah masyarakat halu yang terpenjara masa lalu dan terhipnotis masa depan