Melampaui Tirani Rasionalitas Semu: Perenungan Bersama Romo Semono dan Wulang Reh Sejati

 

Jepara, suaragardanasional.com | Jangan biarkan tirani rasionalitas semu membunuh keajaiban dalam diri kita. Dunia hari ini dipenuhi oleh tuntutan untuk selalu logis, rasional, dan efisien. Namun, dalam falsafah Jawa yang diajarkan oleh para leluhur, termasuk Romo Semono dan melalui Wulang Reh Sejati, hidup tak semata diukur dari logika, tetapi dari rasa, wirasa, dan kasunyatan.


Romo Semono  sering mengingatkan:


“Wong urip kuwi kudu bisa ngrasa sadurunge rumangsa.”


Orang hidup harus bisa merasa sebelum merasa diri tahu. Inilah bentuk perendahan diri dan kesadaran bahwa hidup tidak bisa dipetakan seluruhnya oleh nalar. Rasionalitas tanpa rasa akan membuat manusia menjadi kering, kehilangan arah spiritual, dan mudah terjerembab dalam kesombongan intelektual.


Sama seperti dalam pemahaman Jawa:


"Yen wis ngerti ora ana lawang, ora perlu kunci."


Saat kita sadar bahwa tidak ada pintu, kita pun tidak memerlukan kunci. Ini adalah simbolisasi dari kebebasan spiritual — bahwa hidup bukanlah labirin yang membutuhkan solusi, melainkan aliran yang harus dijalani dengan batin waskita. Tak perlu kita memaksakan segala hal masuk dalam kerangka ‘Windows’, sistem buatan manusia, karena jagad raya sudah memiliki keteraturannya sendiri yang agung, halus, dan tak terbaca oleh mata biasa.


Dalam Wulang Reh Sejati, Raja Pakubuwana IV menekankan:


"Wicaksana iku ora mung saka kawruh, nanging saka kawaskithaning ati."


Kebijaksanaan sejati tidak hanya datang dari ilmu, tapi dari kejernihan hati. Maka, ketika kita menyadari bahwa rasionalitas semu justru menutup pintu bagi rasa, di situlah kita perlu kembali ke pancer — ke pusat kesadaran, yaitu rasa sejati.


Romo Semono juga berkata:


"Ana ilmu kang ora bisa dipelajari, nanging mung bisa ditampi kanthi pasrah lan ikhlas."


Ini sejajar dengan ajaran ngeli nanging ora kélangan kiblat — mengikuti arus tanpa kehilangan arah. Di sinilah peran angen-angen muncul sebagai pangkal dari kesadaran batiniah: sebelum berpikir, manusia Jawa diajarkan untuk mengendapkan rasa terlebih dahulu.


Penutup


Rasionalitas sejati bukanlah akhir dari pengetahuan, melainkan awal dari kebijaksanaan. Dalam ajaran Romo Semono dan Wulang Reh Sejati, manusia yang bijak adalah mereka yang mampu berdiri di antara dunia logika dan dunia rasa, mengakui bahwa tidak semua harus diketahui, dan justru dalam ketidaktahuan itu tersimpan keajaiban.


Jadi, mari jangan biarkan rasionalitas semu menutup pintu-pintu batin kita. Karena sesungguhnya, dalam kesadaran Jawa, pintu itu tidak pernah ada. Yang ada hanya rasa, ikhlas, dan ngalir — seperti air menuju samudra, tanpa peta, tanpa sistem, namun sampai juga pada tujuannya


(Hani K)

Tags

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top