Jepara, suaragardanasional.com | Dalam 100 hari pertama, Mas Wiwit I Witiarso, Bupati Jepara yang dikenal merakyat dan lugas, menjalankan satu pendekatan yang berbeda tak biasa: ia tidak menunggu rakyat datang ke kantor, ia yang datang ke desa-desa. Program "Bupati Ngantor di Desa" bukan sekadar kunjungan kerja, tapi ekspresi nyata dari filosofi kepemimpinan yang membumi: “pemimpin hadir adalah solusi.”
Namun, di balik apresiasi masyarakat, muncul satu pertanyaan normatif: apakah program ini sudah bersenyawa dengan struktur pembangunan desa yang sistemik dan berkelanjutan?
1. Realita dan Apresiasi Sosial: Bupati yang Turun Langsung
Program “Bupati Ngantor di Desa” telah menorehkan pengaruh sosial yang kuat. Warga di Kecamatan Mayong, misalnya, merasakan langsung bagaimana persoalan bisa diurai tanpa birokrasi berbelit. Bagi masyarakat kecil, kehadiran pemimpin secara fisik menyimpan makna psikologis: mereka merasa didengarkan, dianggap, dan dihargai.
Sosiologis:
Kehadiran pemimpin di desa memperkuat ikatan sosial (social bonding) antara pemerintah dan masyarakat. Ini menjawab kritik lama bahwa negara terlalu elitis dan jauh dari rakyat. Kehadiran langsung bupati menciptakan ruang komunikasi yang bersifat horizontal, bukan lagi vertikal birokratis.
2. Masalah Struktural: Potensi Tumpang Tindih Program
Namun di balik keberhasilan teknis, para pemerhati pembangunan mencatat bahwa jika tidak disinergikan, program ini bisa “berjalan sendiri” di luar RPJMDes dan Proker Desa. Ketidakterhubungan antara apa yang didengar bupati dan dokumen resmi desa berisiko menciptakan duplikasi, atau bahkan intervensi yang tidak sinkron.
Dalam pandangan filsafat politik Jawa, seorang pemimpin adalah “panglima rasa” yang menyatukan “karsa” (kehendak), “cipta” (perencanaan), dan “karya” (implementasi). Jika salah satu tidak menyatu, maka akan lahir ketimpangan. Maka, integrasi dengan RPJMDes dan Proker Desa adalah bentuk harmoni antara rasa rakyat dan sistem negara.
3. Strategi Sinkronisasi: Dari Aspirasi ke Perencanaan
Pemerintah desa dan kabupaten harus duduk bersama untuk menyusun Matriks Sinkronisasi, Forum Diskusi Terpadu, dan pelibatan aktif masyarakat. Setiap catatan lapangan dari kunjungan bupati perlu dianalisis secara sistemik dan dimasukkan ke dalam perencanaan resmi, bukan sekadar laporan kinerja.
Pendekatan ini memperkuat model partisipatif dalam pembangunan. Ketika aspirasi rakyat menjadi bagian dari dokumen resmi, maka pembangunan tidak lagi "top-down" tapi "bottom-up". Ini membentuk modal sosial baru: keterlibatan sebagai kekuatan membangun.
4. Dampak Sistemik dan Harapan Jangka Panjang
Jika disinergikan dengan baik, program ini bisa menjadi model baru kepemimpinan lokal di Indonesia. Ke depan, Jepara bisa menjadi percontohan bagaimana Visi Jepara MULUS (Maju, Unggul, Lestari, Unggul, Sejahtera) dibumikan bukan dari ruang rapat, tapi dari balai desa.
Penutup (Call to Action Konstruktif)
Program "Bupati Ngantor di Desa" bukanlah proyek 100 hari semata. Ia harus dipandang sebagai awal mula transisi paradigma: dari kekuasaan yang menara gading, ke kekuasaan yang membumi. Namun agar benar-benar mengakar, diperlukan integrasi menyeluruh ke dalam sistem pemerintahan desa.
Sudah saatnya Jepara tak hanya punya pemimpin yang hadir secara fisik, tapi juga secara sistemik serta visioner.
(Hani K/ Djoko)