KEBIJAKAN BUDAYA JEPARA: MEMULIHKAN JIWA, MENEGAKKAN NILAI

Jepara, suaragardanasional.com | Dalam upaya memulihkan ruh kebudayaan Jepara yang kian tercerabut dari akar substansialnya, diperlukan pendekatan yang tidak hanya bersandar pada ingatan historis kolonial, melainkan kembali ke sumber-sumber kearifan lokal yang lahir dari kesadaran spiritual dan keteladanan etika. Kebijakan budaya Jepara seyogianya bertumpu pada nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh tokoh-tokoh besar Nusantara seperti Sosrokartono dan Ratu Shima, yang mampu menjembatani antara dunia lahir dan batin, antara hukum dan rasa, antara kekuasaan dan kebijaksanaan.


Sosrokartono mengajarkan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada simbol, gelar, atau jabatan, melainkan pada kejernihan jiwa dan kesunyian batin. Dalam salah satu pituturnya, ia berkata:


"Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji-aji, menang tanpa ngasorake."


Ungkapan ini bukan sekadar filsafat hidup, tetapi juga dasar etis untuk membangun masyarakat yang berbudaya—masyarakat yang tidak haus kuasa, tidak lapar pujian, tetapi penuh kebijaksanaan dan welas asih. Kebijakan budaya Jepara hendaknya membangun ruang-ruang kontemplatif di tengah masyarakat—bukan hanya gedung pertunjukan atau panggung hiburan, tetapi taman-taman jiwa, tempat masyarakat merenung, berdialog dalam sunyi, dan belajar mengenal dirinya kembali.


Yang paling penting dalam ajaran Sosrokartono adalah kesadaran bahwa guru sejati adalah diri sendiri. Ia menekankan:


"Guru sejati ya awake dewe, kanggo laku lan perbuatan sing dadi tuladha kanggo sasomo."


Artinya, pendidikan dan kebudayaan sejati tidak lahir dari pengajaran luar semata, tetapi dari kesadaran dalam, dari kemampuan seseorang menjadikan dirinya sendiri sebagai teladan bagi sesamanya. Maka kebijakan budaya tidak boleh hanya bersandar pada simbol-simbol luar, tetapi harus menyentuh inti—kesanggupan setiap warga untuk menjadi pembelajar, pelaku, sekaligus panutan dalam kehidupan nyata.


Sementara itu, Ratu Shima menegaskan bahwa hukum dan etika harus menjadi nafas hidup masyarakat. Dikisahkan, ketika putranya sendiri melanggar hukum yang ia tegakkan, Ratu Shima tidak gentar menegakkan keadilan. Ia bukan pemimpin yang mencari selamat di mata keluarga atau elite, tetapi pemimpin yang menjunjung rasa keadilan sebagai panggilan jiwa. Ia menanamkan prinsip:


"Wong kang adil, iku adil tumrap sapa bae, sanajan marang awake dewe."


Melalui keteladanannya, kebijakan budaya Jepara seharusnya menciptakan atmosfer keadilan dan keterbukaan, di mana setiap bentuk pelanggaran nilai, manipulasi budaya, dan pengkhianatan terhadap warisan luhur mendapat respons yang tegas namun beradab.


Dalam konteks kekinian, kebijakan budaya juga harus menanggapi kegelisahan masyarakat terhadap degradasi moral, kehidupan sosial yang dangkal, dan hilangnya rasa memiliki terhadap Jepara sebagai tanah yang sarat makna. Diskusi publik yang hanya berputar pada uang, proyek, dan keburukan sesama adalah pertanda bahwa budaya kita telah kehilangan substansinya. Seperti yang disampaikan oleh seorang pemikir kontemporer:


"Jepara seperti mayat yang berjalan, tenggelam dalam arus putaran zaman, kehilangan ruh dan jiwanya."


Untuk itu, pendekatan budaya harus memulai dengan membangun kembali esensi manusia Jepara: manusia yang sadar sebagai bagian dari 'wa-hyang', dari ilahiah itu sendiri. Wayang kulit harus berevolusi menjadi wayang uwong, menjadi tiyang, dan kemudian menjadi Ti-Hyang—insan yang sadar, yang hidup bukan hanya dari rutinitas jasmani, tetapi juga dari gerakan batin yang merdeka.


Kebijakan budaya Jepara ke depan harus berani melepaskan diri dari narasi kolonial yang selama ini membingkai sejarah lokal dalam batas-batas yang sempit. Kartini dan Kalinyamat penting, namun pendekatan yang hanya menjadikan mereka simbol pasif, tanpa menghidupkan nilai perjuangan dan spiritualitasnya, justru menjebak Jepara dalam status quo yang nyaman. Oleh sebab itu, sudah saatnya Jepara membuka ruang pendekatan historis baru melalui Sosrokartono dan Ratu Shima sebagai rujukan moral dan spiritual.


Pendekatan spiritual ini menekankan bahwa agama, khususnya Islam, tidak hanya dipahami lewat hukum-hukum dan dalil lahiriah, tetapi harus dihayati lewat “rasa” — roso kawisesan. Al-Qur’an dipahami bukan sekadar bacaan, tetapi getaran batin yang menyatu dengan pengalaman spiritual dan budaya lokal.


"Agama tanpa rasa adalah kering, ilmu tanpa laku adalah angkuh. Maka rasa adalah jembatan antara langit dan bumi, antara Tuhan dan manusia, antara batin dan kenyataan."


Dalam pandangan ini, menjadi seorang muslim Jawa bukanlah bentuk kontradiksi, tapi harmoni. Sebab rasa ketuhanan dapat menjelma dalam laku hidup yang penuh kesadaran, keheningan, dan ketulusan. Namun karena disampaikan dalam bahasa simbolis dan spiritual yang dalam, pendekatan ini sering sulit dipahami oleh mereka yang lebih terbiasa pada nalar rasional.


Sebagai penutup, pitutur ini kiranya menjadi pegangan:


"Sing rumangsa bisa dudu sing bisa rumangsa. Sing kuwasa dudu kanggo nguwasani, nanging kanggo ngopeni."


(Mereka yang merasa mampu belum tentu yang benar-benar mampu merasa. Mereka yang berkuasa bukan untuk menguasai, tetapi untuk merawat.)


Dengan dasar itu, kebijakan budaya Jepara mesti diarahkan untuk membangkitkan kesadaran diri, menegakkan nilai, memuliakan hukum yang adil, serta menyatukan kembali tubuh dan jiwa masyarakat dalam napas budaya yang hidup dan bernilai.(Hani)



#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top