Jepara, suaragardanasional.com | Di tengah hiruk-pikuk dunia modern, manusia semakin terjebak dalam upaya mengontrol dunia luar — sosial, politik, ekonomi — namun justru lalai mengendalikan dunia batinnya. Pikiran dan emosi adalah dua kuda liar dalam diri kita, yang jika tidak dijinakkan, bisa membawa pada kebinasaan. Dalam konteks Jawa, ini disebut “kudu nguwasani rasa, dudu nguwasani donya”.
Sebagaimana dinyatakan oleh Nolan:
“Banyak yang berlomba-lomba mengendalikan kahanan, padahal yang bisa dikendalikan hanyalah diri sendiri: pikiran dan emosi.”
Kita diingatkan kembali pada petuah kuno yang kini semakin relevan:
“Wong milik nggendhong lali.”
Orang yang merasa memiliki justru seringkali lupa akan asal-muasalnya, akan akar budaya dan spiritualitasnya sendiri.
Sutasoma: Dharma dan Kemanusiaan Universal
Dalam Kakawin Sutasoma, Mpu Tantular menulis dengan keagungan spiritual yang dalam, menolak kekerasan, dan menjunjung kemanusiaan.
Sutasoma, tokoh utama, adalah seorang kesatria yang menolak kekuasaan dan memilih bertapa demi menjaga nilai kebenaran. Dalam salah satu bagian pentingnya:
“Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”
(Artinya: Berbeda-beda tetapi satu jua, tidak ada kebenaran yang mendua.)
Kakawin Sutasoma, Pupuh 139:5
Kutipan ini adalah landasan filosofis kebangsaan kita, namun lebih dari itu, ia adalah seruan spiritual — bahwa di balik segala perbedaan, kebenaran tetap satu. Dalam pupuh lainnya, diceritakan bahwa:
“Sutasoma tan purun nggegana ring prakara kalawan kekerasan, luwih ngugemi laku tapa.”
(Sutasoma tidak ingin menyelesaikan perkara dengan kekerasan, melainkan lebih memilih jalan tapa.)
Sutasoma mengajak manusia untuk mengendalikan nafsu kekuasaan dan ego, serta mengedepankan welas asih (karuṇā).
Serat Centhini: Kundalini, Manunggal, dan Transendensi
Serat Centhini atau Suluk Tambangraras-Amongraga adalah ensiklopedia budaya dan spiritual Jawa. Ia menyimpan ajaran mistis yang sangat dalam, meskipun sering disalahpahami karena mengandung unsur sensualitas.
Salah satu ajaran utamanya adalah proses penyatuan energi masculine dan feminine — disebut juga proses rabi (pernikahan) antara Siwa dan Shakti. Ini bukan semata-mata hubungan biologis, melainkan laku spiritual.
Dalam salah satu bagian Serat Centhini:
“Wong kang wus bisa nyawiji, iku kang linuwih, ora ana malih pepisahan. Sang Amongraga sinung rabi ing badan, katemu sukma sejati.”
(Orang yang telah mampu menyatu (nyawiji), itulah yang utama, tidak ada lagi perpisahan. Sang Amongraga menikahi badan, dan bertemu dengan sukma sejati.)
Serat Centhini, Jilid II, Pupuh Dandanggula
Proses ini melibatkan aktivasi kundalini — energi spiritual yang dimulai dari dasar tulang ekor (Muladhara) dan naik ke atas hingga membuka pineal gland (Sahasrara), titik pencerahan.
“Ana jalma wus bisa mindhah cipta saka bungkul nganti mungkup, nembus sakrining kalbu, wikaning rasa rasa, ketemu marang urip kang sejati.”
(Ada manusia yang dapat memindahkan kesadarannya dari tulang ekor hingga ke ubun-ubun, menembus hati terdalam, dan menemukan kehidupan sejati.)
Serat Centhini, Jilid III, Pupuh Sinom
Inilah simbol ular naga membelit, atau dalam bahasa Jawa disebut Naga Raja, menggambarkan gerak kosmis dalam tubuh manusia.
Paradoks dan Pembebasan Narasi Pribumi
Sebagian besar dari kita tidak memahami hukum paradoks, padahal dalam spiritualitas Timur, paradoks adalah kunci kebijaksanaan. Dalam Centhini, misalnya:
“Yen kowe nggegulang rasa kang ora rasa, enggal-enggal ketemu sejating urip.”
(Jika engkau mencicipi rasa yang bukan rasa, segera kau temukan kehidupan sejati.)
Ini adalah ajaran untuk melampaui dualitas, melampaui dikotomi baik–buruk, laki–perempuan, barat–timur. Dan inilah yang disebut
“Serat Centhini mengajak untuk melampaui dualitas… ketika melampaui dualitas, maka itu melampaui manusia.”
Dalam konteks ini, kita juga diajak untuk reclaim (merebut kembali) narasi sejarah dan budaya kita sendiri. Narasi kita selama ini dikaburkan oleh kolonialisme dan moralitas luar. Padahal:
“Tidak ada bangsa yang bisa makmur ketika akar anak-anaknya — generasi penerus — dirusak. Akar itu adalah leluhur sebelum masa kolonial.”
Penutup: Menemukan Kembali Kesadaran Pribumi
Baik Sutasoma maupun Centhini mengajak kita kembali pada jati diri Nusantara — kesadaran mistis dan kearifan lokal. Jalan spiritual mereka bukan hanya tentang ajaran agama formal, tetapi tentang pengalaman batin, pengendalian diri, cinta kasih, dan penyatuan energi semesta dalam diri manusia.
Kita sedang tidak mencari yang baru, tetapi menggali kembali yang telah lama ditanam oleh leluhur.
Saatnya menolak narasi kolonial dan kembali menyatu dengan tubuh budaya kita sendiri.
Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji-aji, menang tanpa ngasorake
Disusun Djoko TP Nolan
(Hani K)