Sentuhan Tangan Alami Perajin Bambu Di Widoro Kesongo Tuntang, Kabupaten Semarang."

 

Semarang, suaragardanasional.com | Di tengah hiruk pikuk jalan raya Solo-Semarang, tepatnya di Dusun Widoro, Desa Kesongo, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, sebuah pemandangan sederhana namun sarat makna terhampar. Puluhan perajin bambu, termasuk Pak Rahmat dan putranya Mas Hermanto, telah puluhan tahun setia mengolah bambu apus menjadi berbagai produk fungsional dan estetis seperti gebyok, gedek, pagar, kepang, dabag, wilahan, umbul-umbul, dan kandang ayam.


Usaha kerajinan bambu Pak Rahmat, yang kini dikelola pula oleh Mas Hermanto, telah eksis sejak tahun 2000-an. Artinya, lebih dari dua dekade mereka telah berkarya, menopang perekonomian keluarga, dan menciptakan lapangan kerja bagi sekitar 20 orang perajin lainnya di kawasan tersebut. Keberadaan lapak ini bahkan telah menjadikan Dusun Widoro sebagai sentra kerajinan bambu, khususnya “gedek,” di ujung selatan Kecamatan Tuntang, berbatasan dengan Salatiga Utara.


Mas Hermanto menjelaskan bahwa bahan baku bambu apus diperoleh dari daerah sekitar seperti Merong, Entelengan, dan Deblosan. Uniknya, panen bambu tidak bisa dilakukan sembarangan. Ada musim-musim tertentu yang harus dipahami agar bambu terhindar dari ulat atau hama “bolor.” Bambu yang berkualitas baik untuk diolah adalah yang sudah tua, berdiameter sekitar 7-8 cm, dan memiliki panjang minimal 6 meter. Harganya pun cukup terjangkau, sekitar Rp15.000 per batang hingga sampai di tempat produksi.


Karya Multifungsi yang Kian Diminati

Berbagai produk dihasilkan dari tangan-tangan terampil para perajin ini. Dari sekian banyak, gedek dan pagar bambu menjadi produk yang paling banyak dipesan. Gedek, misalnya, kerap digunakan sebagai kandang kambing, kandang ayam, hingga penahan kebun dari hewan melata. Menariknya, produk kerajinan bambu ini juga banyak diminati oleh kafe-kafe modern yang mengusung konsep “back to nature,” seperti pesanan dari “Angon Jiwo Cafe” di Bawen.


Pesanan dalam jumlah besar pun kerap datang. Mas Hermanto mengenang, pernah ada pesanan 82 lembar pagar bambu dengan lebar 1,5 meter dan panjang 2 meter untuk pinggiran kolam koi. Selain itu, mereka juga pernah menerima pesanan 60 unit kandang ayam petelur khusus dari dinas peternakan, yang dibanderol sekitar Rp120.000 per unitnya. Ini membuktikan bahwa produk kerajinan bambu tidak hanya untuk kebutuhan tradisional, tetapi juga mampu beradaptasi dengan kebutuhan modern.

Omzet Menggiurkan dan Harapan Masa Depan

Dalam sebulan terakhir, penjualan kerajinan bambu Pak Rahmat mengalami kenaikan yang signifikan. Omzet rata-rata bulanan bisa mencapai Rp7-8 juta, bahkan pernah mencapai Rp3 juta dalam sehari. Angka ini menunjukkan potensi besar ekonomi kreatif di pedesaan, yang seringkali menjadi penopang utama perekonomian masyarakat.


Mas Hermanto berharap ke depan semakin banyak pihak yang berminat pada kerajinan bambu. Ia optimis bahwa bambu memiliki potensi lebih dari sekadar kerajinan dasar, bisa dikembangkan menjadi produk-produk yang lebih bernilai dan artistik. “Mudah-mudahan semakin banyak yang meminati kerajinan bambu, bisa buat kerajinan yang lain-lain lah,” ujarnya.


Potensi ini juga diharapkan dapat menarik perhatian pemerintah desa, khususnya dalam alokasi Dana Desa (DD) dan program Koperasi Merah Putih, untuk mendukung ekonomi kreatif yang sudah berjalan. Mengangkat kembali pasar tradisional dan menggaungkan produk-produk lokal seperti kerajinan bambu Pak Rahmat adalah langkah tepat sasaran untuk mewujudkan nilai ekonomi yang beriringan dengan kegiatan kreasi.(Budi P)

https://youtu.be/DTYVLrdMfvQ?si=g3yHKDhaXMtTsu-L



Tags

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top