Jepara, suaragardanasional.com | Disusun sebagai karya renungan spiritual kontemporer, buku ini berangkat dari keprihatinan akan krisis batin manusia modern. Saat dunia menjauh dari hakikatnya yang lembut, manusia perlu kembali pada dirinya yang paling jujur—melalui kasih, perenungan, dan keberanian untuk hidup selaras dengan nurani.
Bab 1: Portal Kehidupan — Ibu, Bumi, dan Jiwa
Kita hadir di dunia bukan sebagai data, tapi sebagai jiwa yang menyeberang lewat portal agung bernama Ibu dan Bumi. Di tengah modernitas, pelukan dan tanah menjadi jawaban paling spiritual. Leluhur mengajarkan: keheningan tanah dan kasih ibu adalah awal kesadaran.
Bab 2: Manusia—Makhluk Tak Terdefinisikan
Manusia mampu membangun pencakar langit dan menciptakan kehancuran pada saat yang sama. Bab ini mengajak kita menyadari: persoalannya bukan seberapa primitif kita dulu, tapi seberapa sadar kita hari ini. Kesadaran adalah kunci agar otak tidak membunuh jiwa.
Bab 3: Krisis Eksistensi Sosial
Ketika nilai hidup digantikan oleh angka dan validasi digital, dunia kehilangan akarnya. Segalanya dikomodifikasi, termasuk cinta. Bab ini merefleksikan kegelisahan zaman dan menyuarakan pentingnya kembali pada nilai, bukan hanya nilai tukar.
Catatan Hati Hari Ini: Apakah aku masih menakar cinta dengan timbangan dunia?
Bab 4: Meditasi Kesadaran Sosial
Kesadaran sosial bukan hasil reaksi spontan, tapi buah dari perenungan dalam. Doa sosial lahir dari kemauan untuk tidak menutup mata. Dunia bukan hanya tentang aku, tapi tentang kita. Meditasi di bab ini mengajak pembaca merenungi tanggung jawabnya terhadap sesama dan bumi.
Bab 5: Dogma, Kapitalisme, dan Moral Palsu
Dogma yang membelenggu, kapitalisme yang memabukkan, dan moral palsu menjadi penjara tak kasatmata. Bab ini mengajak kita menyadari bahwa Tuhan bukanlah doktrin, melainkan kesadaran yang hidup. Membebaskan diri bukan berarti meninggalkan iman, tapi menghidupkannya.
Bab 6: Doa Jiwa yang Lembut
Doa bukan seremonial, melainkan bisikan jiwa. Di sini, pembaca diajak untuk mengalami doa sebagai kehadiran, bukan permintaan. Doa lembut, seperti embun, lebih menyembuhkan daripada seribu teriakan. Ki Suryomentaram, Gandhi, dan Ibu Teresa membimbing kita dalam keheningan.
Bab 7: Welas Asih dan Kebijaksanaan sebagai Soko Guru Kehidupan
Dunia tidak butuh lebih banyak penguasa, tetapi panutan. Welas asih adalah kekuatan, bukan kelemahan. Kebijaksanaan sejati lahir dari rasa, bukan hafalan. Bab ini adalah panggilan untuk hadir bukan sebagai penghakim, tapi sebagai pelukan yang menyembuhkan.
Bab 8: Revolusi Batin — Menyalakan Lilin di Tengah Gelap
Perubahan tidak dimulai dari mimbar, tapi dari hati. Satu lilin kecil cukup untuk menjadi arah bagi banyak jiwa yang kehilangan cahaya. Bab ini mengajak kita tidak menunggu dunia berubah, tetapi menjadi perubahan itu sendiri—dalam diam, dalam cinta, dalam kesetiaan pada nurani.
Bab 9 (Penutup): Jiwa Merdeka, Cinta Tanpa Syarat
Puncak kesadaran adalah ketika seseorang bisa tetap mencintai meski disakiti. Jiwa yang merdeka bukanlah yang tak terluka, tapi yang tak dikendalikan oleh luka. Penutup ini mengajak pembaca hidup dalam cinta yang tak bersyarat, sebagai bentuk tertinggi dari spiritualitas dan kemanusiaan.
Penegasan Akhir:
Buku ini bukan tentang menjadi sempurna, tetapi tentang menjadi utuh—manusia yang menghayati hidup, mencintai dengan bebas, dan membiarkan Tuhan berbicara melalui kelembutan jiwa. (Hani)