Jepara, suaragardanasional.com | Di tengah arus perubahan zaman yang mengalir deras, Jepara sebagai tanah leluhur dengan akar budaya yang kuat, tidak boleh hanya menjadi penonton pasif. Dibutuhkan langkah strategis yang tidak hanya rasional dan terukur, tetapi juga menyentuh jiwa kolektif masyarakat Jepara yang kaya akan nilai budaya, semangat gotong royong, dan falsafah hidup yang membumi. Maka dari itu, strategi kebudayaan kota perlu dirancang bukan hanya dalam bingkai administratif, melainkan juga dalam kesadaran kultural masyarakat yang hidup dan menyatu dengan tanah, laut, dan ukiran sejarah.
Dalam konteks itu, arah strategis pembangunan kebudayaan Jepara perlu menjiwai dan menghidupi Visi "Jepara MULUS" — yaitu singkatan dari Maju, Unggul, Lestari, dan Relegius — sebagai fondasi etis dan moral untuk menata Jepara secara menyeluruh, dari sektor budaya, ekonomi, hingga tata kelola pemerintahan yang inklusif dan berkeadilan.
Komunikasi Dua Arah yang Membumi
Jepara selama ini dikenal dengan filosofi "sowan" dan "rembug" sebagai simbol keterbukaan dalam bertukar pikiran. Komunikasi antara birokrat hasil Pilkada, tokoh masyarakat, LSM, dan akademisi harus dibangun dengan pendekatan budaya lokal, bukan sekadar formalitas prosedural. Dalam bingkai “Jepara MULUS”, komunikasi ini menjadi bagian dari mewujudkan Unggul dalam tata kelola yang transparan dan akuntabel, tetapi tetap menyatu dengan budaya tutur Jawa yang santun dan mendalam.
Visi Bersama dalam Semangat “Segoro Gunung”
Jepara memiliki wajah daratan dan lautan. Visi pembangunan harus mencerminkan keselarasan antara gunung dan laut — kekuatan agraris, bahari, dan kerajinan — yang menjadi identitas Jepara. Misi bersama haruslah menjadi nyanyian kolektif yang digaungkan dari desa ke kota, dari pesisir ke pegunungan. Visi “Jepara MULUS” hanya dapat terwujud jika semua pemangku kepentingan duduk dalam semeja, menata arah pembangunan budaya yang Lestari dan Relegius
Jurus Rangsangan Partisipasi Masyarakat: Bangkitkan Semangat “Sesarengan Mbangun Desa”
Dalam strategi kebudayaan, masyarakat bukanlah objek pembangunan, tetapi subjek utama. Maka pemetaan kebutuhan kota harus dilakukan secara partisipatif — memanggil kembali semangat lama "sesarengan mbangun desa", kini diterjemahkan dalam pemetaan berbasis data digital, tetapi tetap menyatu dengan obrolan warung kopi dan pasar rakyat. Ini merupakan bentuk dari prinsip Maju yang inklusif dan berbasis potensi lokal.
Program Terintegrasi: Anyaman yang Rapi antar Stakeholder
Seperti halnya pengrajin ukir Jepara yang sabar mengukir setiap detail, demikian pula program kebudayaan harus diukir dengan kolaborasi dan kesabaran antar sektor, tidak tumpang tindih atau saling meniadakan. Kolaborasi ini adalah langkah nyata dalam mewujudkan Unggul dalam sinergi lintas sektor.
Meningkatkan Kapasitas: Sumber Daya Manusia sebagai Mata Air
Tak ada strategi kebudayaan yang berhasil tanpa SDM yang sadar budaya dan adaptif terhadap zaman. Peningkatan kapasitas bukan sekadar pelatihan teknis, tetapi juga pembinaan karakter, nilai, dan semangat cinta daerah. Di sinilah aspek Unggul dan Lestari dari visi “Jepara MULUS” menjelma dalam penguatan manusia yang berkarakter dan berdaya saing.
Sistem Monitoring dan Evaluasi yang Diselami Nilai Lokal
Evaluasi bukan sekadar laporan kaku, melainkan harus mampu mengukur apakah suatu program menyentuh kehidupan rakyat, menyuarakan harapan wong cilik, dan memperkuat solidaritas sosial. Teknologi harus dimanfaatkan untuk memastikan ketepatan arah, tetapi tetap dikendalikan dengan mata hati masyarakat. Maju dan Lestari hanya dapat dicapai dengan keterbukaan informasi dan pengawasan yang adil.
Kolaborasi: Rasa Handarbeni sebagai Kunci
Sikap “handarbeni” — rasa memiliki — harus menjadi nafas dari semua elemen. Dalam budaya Jawa, ketika seseorang merasa memiliki, maka ia tidak akan berpangku tangan. Kolaborasi antar pemangku kepentingan akan kuat jika semua pihak merasa ikut memiliki masa depan Jepara. Inilah inti dari pembangunan yang Lestari — karena dibangun atas cinta dan kepedulian bersama.
Budaya Inklusif: Semua Pihak adalah Satu Tubuh
Jepara adalah miniatur keberagaman. Di sini hidup para seniman, nelayan, petani, perempuan pengukir, dan generasi digital. Budaya inklusif berarti membuka ruang bagi setiap kelompok — lintas agama, lintas usia, lintas profesi — untuk menyampaikan aspirasinya dan diberi ruang yang setara untuk berkembang. Visi religius tidak hanya bermakna agama tetapi juga keadilan budaya dan sosial.
Menopang Strategi: Pilar Pembangunan yang Berkelanjutan
- Infrastruktur Berbudaya: Pembangunan jalan, pasar, dermaga, dan ruang publik harus mencerminkan estetika lokal dan mendukung kegiatan budaya serta ekonomi rakyat (Maju dan Lestari).
- Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Ekologi dan Tradisi: Alam Jepara harus dijaga sebagaimana masyarakat menjaga sumur dan pohon keramat. Pengelolaan sumber daya yang tepat menjadikan Jepara tangguh dalam 25 tahun ke depan (Lestari dan rekigius ).
- Ekonomi Inklusif: Ukiran Ekonomi Rakyat
Perajin ukir, pembatik troso, petani garam, dan nelayan adalah wajah ekonomi Jepara. Ekonomi yang dikembangkan harus menjangkau mereka — bukan hanya pelaku usaha besar — melalui sistem distribusi yang adil dan pemasaran digital berbasis budaya lokal (Unggul dan Religius).
Penutup: Jepara MULUS, Jepara Maju dalam Roh Budaya
Dengan menyelaraskan strategi kebudayaan dalam spirit masyarakat Jepara yang guyub, terbuka, dan menjunjung nilai-nilai leluhur, pembangunan kota tidak hanya akan terwujud dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam roh kehidupan sosial yang harmoni dan berkeadaban. Jepara bukan sekadar kota ukir — ia adalah kota yang tengah mengukir masa depan melalui jalan budaya dan kearifan lokal, selaras dalam Visi Besar: Jepara MULUS — Maju, Unggul, Lestari, dan Relegius.