Jepara, suaragardanasional.com | Pemuda dengan idealisme yang menyala adalah benteng terakhir yang mampu melawan arus kepentingan pribadi dan kebusukan sistem.
Ketika semangat itu padam, ruang kosongnya segera diisi oleh kepentingan sempit, keserakahan, dan korupsi yang merajalela.
Bagi Gie, korupsi bukan hanya soal uang yang dicuri, tetapi juga tentang runtuhnya nilai kejujuran, keberanian, dan kesediaan berkorban demi kebenaran.
Idealisme pemuda adalah api yang menjaga bangsa dari kegelapan moral.
Tanpa itu, kehidupan publik menjadi sekadar arena transaksi, bukan lagi perjuangan untuk kemaslahatan bersama.
Generasi muda yang menanggalkan idealismenya akan mudah larut dalam kenyamanan, acuh terhadap ketidakadilan, dan akhirnya menormalisasi perilaku koruptif.
Padahal, sejarah selalu mencatat bahwa perubahan besar lahir dari keberanian pemuda yang berpegang teguh pada nilai dan berani berkata “tidak” pada penyimpangan.
Korupsi subur bukan hanya karena sistem yang buruk, tetapi juga karena melemahnya kesadaran kolektif untuk melawan.
Saat heroisme dan idealisme dianggap kuno atau tak relevan, maka korupsi menemukan ruang tumbuhnya.
Semangat muda yang seharusnya menjadi pengawas dan penggerak justru berubah menjadi penonton pasif.
Dari sinilah pesan Gie terasa begitu relevan: pemuda yang apatis sesungguhnya sedang memberi jalan bagi lahirnya generasi koruptor baru.
Maka, tugas pemuda hari ini bukan sekadar mengejar kenyamanan pribadi, tetapi menjaga agar idealisme tetap menyala.
Itu bisa dimulai dari hal sederhana: berani bersuara, menolak kompromi terhadap ketidakjujuran, hingga membangun integritas dalam lingkup terkecil.
Sebab, seperti kata Soe Hok Gie, ketika api idealisme padam, korupsi bukan hanya mungkin terjadi, tapi pasti akan semakin berakar.
(Hani)

