Jepara, suaragardanasional.com | Program Bupati Ngantor di Desa sejatinya lahir dari semangat mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat untuk menggali potensi dan menindak lanjuti ke praktek nya.
Namun, jika dilihat dari praktik di lapangan, masih banyak celah yang perlu dibenahi. Kritik yang muncul bukan tanpa dasar. Lemahnya sinergi antara kabupaten, kecamatan, dan desa membuat program ini kerap berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya, prinsip pemerataan pembangunan belum sepenuhnya terwujud. Ada desa yang cepat mendapat perhatian karena memiliki kedekatan dengan bupati, sementara desa lain merasa tertinggal. Situasi ini jelas berbahaya jika dibiarkan, karena akan menumbuhkan rasa ketidakadilan di tengah masyarakat.
Meski begitu, tidak adil pula jika program ini disebut gagal total. Faktanya, ada dampak positif yang sudah dirasakan warga. Pelayanan kesehatan gratis, layanan kependudukan, hingga perizinan dibuka langsung di desa. Banyak aspirasi masyarakat juga direspons dengan cepat. Artinya, Bupati Ngantor di Desa bukanlah program kosong, melainkan sudah memberi manfaat nyata.
Namun dari kacamata sosiologis, setiap desa memiliki karakter sosial dan kebutuhan yang berbeda. Misalnya, desa pesisir seperti Kedungmalang atau Ujungwatu lebih membutuhkan dukungan untuk nelayan: akses perahu, pasar ikan, serta pengelolaan hasil laut. Sedangkan desa pegunungan seperti Tempur di Kecamatan Keling lebih mendesak pada perbaikan infrastruktur jalan dan akses pendidikan, karena jarak dan kondisi alam membuat masyarakat sering terisolasi.
Sementara itu, desa dengan basis industri rumahan mebel di Tahunan lebih membutuhkan fasilitasi permodalan dan perluasan pasar. Tanpa kepekaan terhadap kebutuhan yang berbeda-beda ini, program hanya akan bersifat seremonial tanpa menyentuh akar persoalan masyarakat desa.
Dari sudut filosofis, desa bukan sekadar ruang administratif, tetapi ruang hidup yang menyimpan nilai-nilai kebersamaan, kearifan lokal, dan jati diri masyarakat. Pepatah Jawa “desa mawa cara, negara mawa tata” mengingatkan bahwa setiap desa memiliki cara hidupnya sendiri, dan tugas negara adalah merawat keberagaman itu dalam satu tata yang adil.
Kehadiran pemerintah di desa mestinya mengandung makna filosofis: memastikan keadilan sosial, menjaga keseimbangan pembangunan, dan memperkuat martabat warga desa sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar objek kebijakan.
Lebih jauh, jika ditarik ke historis, desa-desa di Jepara telah membuktikan perannya dalam perjalanan bangsa. Dari desa inilah lahir tokoh besar seperti Raden Ajeng Kartini, yang menyuarakan keadilan dan pendidikan bagi perempuan, berangkat dari realitas sosial Jepara yang kala itu masih penuh keterbatasan. Jepara juga dikenal sebagai daerah dengan tradisi perdagangan laut dan seni ukir yang tumbuh dari desa-desa, menjadi identitas kultural sekaligus penggerak ekonomi masyarakat. Sejarah ini mengingatkan bahwa desa bukan pinggiran, melainkan pusat peradaban yang mampu melahirkan gagasan besar bagi bangsa. Maka, menghadirkan bupati di desa tidak hanya sekadar mendekatkan pelayanan, tetapi juga meneruskan jejak sejarah bahwa kekuatan Jepara bersumber dari desa.
Karena itu, yang diperlukan saat ini bukan sekadar melanjutkan program, tetapi memperbaikinya. Pemerintah perlu membangun komunikasi yang lebih kuat lintas level pemerintahan, sekaligus menyesuaikan pendekatan dengan realitas sosial, filosofis, dan historis tiap desa. Evaluasi yang sudah dilakukan melalui rapat koordinasi harus ditindaklanjuti dengan langkah konkret: penjadwalan kunjungan yang lebih adil, mekanisme pengawasan yang transparan, serta partisipasi warga desa dalam merumuskan prioritas pembangunan.
Dengan demikian, kritik dan apresiasi yang muncul seharusnya dilihat sebagai energi untuk memperbaiki arah program. Bupati Ngantor di Desa bisa menjadi motor penggerak pelayanan publik yang lebih merata dan bermakna, asalkan komitmen perbaikan dijalankan dengan konsisten serta berlandaskan kesadaran sosiologis, filosofis, dan historis akan desa sebagai fondasi kehidupan bangsa.
(Hani K)

