“Perempuan Jepara: Jangan Hanya Dikenang, Tapi Harus Diandalkan”



Jepara, suaragardanasional.com
| Dalam  mengenang sosok  kartini pada  sebuah    sebuah diskusi hangat usai subuh bersama biaya sangat murah  tidak perlu gegap gempita dan ceremonial   komunitas ODGJ  yang terdiri dari wartawan, LSM, ormas, pensiunan, cendekiawan, UMKM, dan tokoh spiritual Jepara, muncul pertanyaan menggelitik:


Mengapa perempuan-perempuan hebat Jepara tidak tampil memimpin Jepara?


Diskusi ini membuka banyak pintu kesadaran baru—salah satunya melalui suara jujur dan tajam dari dua sosok penting Paguyuban UMKM Jepara: Bu Ari (Ketua) dan Mbak Rosi (Sekretaris).


Suara Hati Perempuan Jepara


_“Rasanya sebagai perempuan, apa yang mau ditulis itu mungkin nggak akan habis. Maaf, menurut saya dalam kepemimpinan, selagi masih ada laki-laki, sebaiknya laki-laki yang jadi pemimpin. Perempuan cukup sebagai inspirasi dan sumber ide-ide cemerlang yang bisa diterapkan—bukan hanya didengar. Karena sehebat apapun kesuksesan, di baliknya pasti ada sosok perempuan yang mendukung. Tapi sayangnya, laki-laki kalau sudah sukses, jarang mengingat jasa perempuan. Itulah kenapa, perempuan kadang hanya untuk dikenang.”_


(Bu Ari, Ketua Paguyuban UMKM Jepara)


_“Bener sekali, Bu. Itu realita. Perempuan 90% perasaan, 10% pikiran. Sementara laki-laki sebaliknya. Jadi bagaimana mungkin laki-laki bisa memahami perempuan secara utuh?”_


(Mbak Rosi, Sekretaris Paguyuban UMKM Jepara)


Ungkapan ini bukan sekadar curahan hati. Ini adalah refleksi sosial yang menggugah, bahwa meski Jepara pernah melahirkan tokoh emansipasi besar seperti RA Kartini, kini masih banyak perempuan merasa terbatasi dalam peran pendukung—bukan pengambil keputusan.


Respon Komunitas ODGJ dan Refleksi Laki-laki


Sebagai mediator diskusi, saya merasa terhormat mendengarkan pandangan ini. Sebuah kritik halus yang justru menunjukkan betapa pentingnya kehadiran perempuan dalam posisi strategis.


Pemimpin sejati tidak diukur dari jenis kelamin, tapi dari kesediaan untuk mengabdi.


Jika perempuan adalah 90% perasaan, justru itu adalah kelebihan—bukan kelemahan. Karena banyak pemimpin gagal bukan karena kurang pintar, tetapi karena tidak punya rasa. Sedangkan laki-laki yang dominan pikiran akan lebih kuat bila berdampingan dengan perempuan yang dominan rasa.


Maka yang kita butuhkan adalah bukan persaingan antara laki-laki dan perempuan, tapi kolaborasi antara akal dan rasa. Bukan soal siapa yang memimpin, tapi bagaimana nilai kemanusiaan ditanam dalam kepemimpinan.


Kesimpulan dan Ajakannya


Sudah saatnya Jepara melahirkan kembali pemimpin-pemimpin perempuan, bukan hanya sebagai simbol atau inspirasi, tapi sebagai pengambil kebijakan.


Jepara membutuhkan perempuan untuk diandalkan, bukan sekadar dikenang.


Dan komunitas ODGJ akan terus menjadi ruang terbuka untuk gagasan, pelatihan, dan pembentukan kepemimpinan berbasis keberagaman, inklusif, dan berintegritas.


Penutup


Mari kita semua belajar bukan hanya memimpin dengan keahlian, tapi dengan pemahaman mendalam tentang kehidupan, masyarakat, dan perasaan manusia. Karena laut Jepara terlalu luas untuk hanya dijelajahi dengan peta. Ia butuh hati dan jiwa yang menyatu.


_Karena perubahan besar tidak dimulai dari siapa yang paling kuat, tapi dari siapa yang paling berani memulai._


(Hani K / Djoko T. P)

Tags

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top