Makna Filosofis dan Spiritual Satu Suro dalam Tradisi Jawa

 

Jepara, suaragardanasional.com | Dalam kehidupan masyarakat Jawa, Satu Suro bukan sekadar penanda pergantian hari atau bulan dalam kalender Jawa-Islam, melainkan sebuah momen sakral yang sarat makna spiritual, filosofi hidup, dan ajaran luhur warisan para sesepuh. Malam Satu Suro diyakini sebagai waktu terbaik untuk kembali mengenal diri, membersihkan hati, serta memohon keselamatan dan bimbingan dari Tuhan Yang Maha Kuasa.


Akar Sejarah dan Spiritualitas Satu Suro


Tradisi peringatan Satu Suro bermula dari gagasan besar Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusumo, Raja Mataram, yang memadukan sistem penanggalan Hijriyah dengan budaya Jawa menjadi Kalender Jawa Sultan Agungan. Di dalamnya, 1 (satu)  Suro ditetapkan sebagai awal tahun Jawa, sekaligus momen untuk memulai perjalanan spiritual baru.


Namun, makna Satu Suro jauh melampaui hitungan waktu. Bagi orang Jawa, Suro adalah waktu nyepi batin, introspeksi, dan laku prihatin — sebuah ruang untuk menundukkan ego, memperkuat kesadaran diri, dan menjernihkan jiwa.


Wejangan Para Sesepuh Jawa tentang Satu Suro


Sejumlah tokoh dan sesepuh Jawa memberikan landasan filosofi yang menjadi pegangan dalam menyambut dan menjalani bulan Suro:


Sunan Kalijaga, Walisongo yang bijak memadukan Islam dan budaya Jawa, berpesan:


_"Urip iku mung mampir ngombe, nanging saben mampir kudu eling sapa sing maringi urip."_

(Hidup ini hanya seperti singgah untuk minum, tetapi setiap singgah harus ingat siapa yang memberi kehidupan.)


- Bulan Suro menjadi momen singgah spiritual, saat manusia berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia, merenungi asal-usul, dan kembali menyadari kebesaran Ilahi.


Sultan Agung Hanyokrokusumo melalui kalender Jawa mengingatkan:


_"Awal tahun dudu mung urusan wektu, nanging wiwitan lelakon anyar kanggo ati lan jiwa."_

(Awal tahun bukan sekadar waktu, tetapi awal perjalanan baru bagi hati dan jiwa.)


- Satu Suro adalah titik awal perjalanan baru, waktu yang tepat untuk membersihkan hati, memperbaiki diri, dan menguatkan spiritualitas.


Pakubuwono IV dalam Serat Wulangreh memberi wejangan luhur:


_"Ojo dumeh, ojo seneng ngina, ojo kagetan, ojo gumunan."_

(Jangan merasa sok hebat, jangan suka meremehkan, jangan mudah kaget, jangan gampang heran.)


- Suro adalah waktu menundukkan kesombongan, menjaga kerendahan hati, serta memperkuat batin agar tetap teguh dan bijaksana.


Ronggowarsito, pujangga besar Jawa, menulis dalam Serat Kalatidha:


_"Zaman edan, yen ora edan ora keduman, nanging isih bejo, isih eling lan waspada."_


(Zaman edan, jika tidak ikut edan tidak kebagian, tetapi masih untung jika tetap sadar dan waspada.)


- Di tengah zaman yang kacau dan penuh godaan, Suro menjadi waktu terbaik untuk eling lan waspada, mempertebal spiritualitas agar tidak larut dalam kegilaan dunia.


Kiai Suryomentaram, tokoh kawruh jiwa, berpesan:


_"Sing penting iku ngerti uripmu dewe, ngerti ngrasakake batinmu, aja mung manut omongan wong liya."_


(Yang terpenting adalah memahami hidupmu sendiri, merasakan batinmu, jangan hanya ikut kata orang lain.)


- Suro adalah momen introspeksi, mengenal diri, dan memahami perjalanan hidup lewat penghayatan batin, bukan sekadar mengikuti kata orang.


Poro Sesepuh Jawa melalui tradisi lisan selalu mengingatkan:


_"Suro iku wektu sepi, wektu ngadoh saka rame, wektu nyawang urip lan mati."_


(Suro adalah waktu sepi, waktu menjauh dari keramaian, waktu merenungkan hidup dan mati.)


- Itulah sebabnya di bulan Suro, banyak orang Jawa memilih lelaku tapa, ritual nyepi, atau ziarah ke makam leluhur sebagai wujud matangnya jiwa dan kesadaran akan kefanaan hidup.


Ritual dan Tradisi Satu Suro di Masyarakat Jawa


Sebagai pengejawantahan ajaran luhur tersebut, masyarakat Jawa melaksanakan berbagai tradisi dan ritual di malam Satu Suro, antara lain:

- Sholat Tahajud dan Zikir, memohon keselamatan dan ketenangan batin

- Bersedekah, sebagai wujud syukur dan peduli sesama

- Membersihkan dan Menghias Rumah, simbol pembersihan lahir batin

- Menyajikan Bubur Suro, makanan tradisional sarat simbol pengingat awal baru

- Doa dan Lelaku Bersama, memohon perlindungan dan berkah di tahun yang akan dijalani


Satu Suro, Momentum Kembali ke Diri


Dalam filosofi Jawa, hidup bukan sekadar menjalani rutinitas duniawi, tetapi juga perjalanan spiritual untuk mengenali diri, memperbaiki akhlak, dan menguatkan ikatan dengan Sang Pencipta. Satu Suro adalah momentum sakral untuk kembali ke jati diri, membersihkan jiwa, dan menata langkah menuju kehidupan yang lebih bermakna.

Seperti pesan para leluhur:


_"Suro iku wektu sepi, nanging ora sepi kanggo ati lan pikiran."_


(Suro adalah waktu sepi, tetapi tidak sepi bagi hati dan pikiran.)


Karena justru di dalam kesunyian itulah, manusia dapat menemukan ketenangan, pencerahan, dan makna sejati dari hidup.(Hani)

Tags

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top