Pati, suaragardanasional.com | Polemik hukum yang memantik perhatian publik tengah bergulir di Kabupaten Pati. Seorang warga bernama Utomo resmi menggugat balik pelapor dan Polda Jawa Tengah melalui gugatan perdata, lantaran dirinya dilaporkan atas dugaan penipuan dan penggelapan menggunakan kwitansi yang telah kadaluarsa dan secara hukum tidak lagi berlaku.
Laporan tersebut dilayangkan oleh Siti Fatimah Al Zana Nur Fatimah alias Zana, dengan menyertakan bukti kwitansi tertanggal 26 November 2016 senilai Rp1,75 miliar. Namun, penggunaan kwitansi itu memunculkan kejanggalan hukum karena telah dinyatakan tidak sah dalam sejumlah dokumen resmi yang ditandatangani bersama oleh para pihak dan disahkan melalui akta notaris.
Di antara dokumen yang menunjukkan kedaluwarsanya kwitansi tersebut adalah:
Surat Perjanjian Kerjasama Penyertaan dan Pengelolaan Modal No. 204, tertanggal 24 Januari 2017, yang dibuat di hadapan Notaris Johan Nurjam Haba, SH., MKn;
Surat Pernyataan Siti Fatimah Al Zana tertanggal 24 Januari 2017, yang menyatakan semua kwitansi sebelumnya tidak sah dan tidak berlaku;
Surat Pernyataan Bersama Terlapor, tertanggal 28 Januari 2017;
Surat Kesepakatan Bersama tertanggal 2 Mei 2017 yang menegaskan penyelesaian administratif telah dilakukan.
Meskipun telah ada bukti-bukti hukum yang kuat dan saling mengikat tersebut, laporan pidana dari Zana tetap diproses oleh penyidik Polda Jateng, yang menuduh Utomo melanggar Pasal 378 KUHP (Penipuan) dan/atau Pasal 372 KUHP (Penggelapan).
“Saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin kwitansi yang sudah dinyatakan tidak berlaku secara sah masih dijadikan dasar pelaporan pidana dan diproses oleh penyidik? Ini jelas mengarah pada upaya kriminalisasi!” ujar Utomo dengan nada geram.
Lebih lanjut, Utomo mempertanyakan profesionalisme penyidik yang menurutnya tidak jeli dan melanggar prinsip kehati-hatian hukum. Ia dan istrinya telah diperiksa oleh penyidik berdasarkan dokumen yang secara hukum telah null and void.
“Saya ini warga negara taat hukum. Tapi jangan hukum dipermainkan seenaknya. Jangan sampai aparat dijadikan alat oleh pihak yang tak punya legal standing,” tegasnya.
Sebagai bentuk perlawanan yang sah dan konstitusional, Utomo telah mendaftarkan gugatan perdata terhadap Zana dan Polda Jateng, terdaftar dengan nomor perkara 58/Pdt.G/2025/PN Pti, dengan agenda sidang perdana pada 5 Agustus 2025 di Pengadilan Negeri Pati.
Kritik Keras dari Kuasa Hukum.
Kuasa hukum Utomo, Nur Said, SH., MH, juga menyampaikan kritik tajam kepada aparat penegak hukum.
“Ini menyedihkan. Laporan diterima dengan dasar dokumen yang tidak lagi memiliki kekuatan hukum. Dimana objektivitas dan integritas aparat penegak hukum kita?” ujar Nur Said.
Ia menekankan, penggunaan dokumen kadaluarsa untuk menjerat seseorang secara pidana adalah bentuk pelecehan terhadap prinsip due process of law. Bahkan, hal ini berpotensi menurunkan kredibilitas institusi Polri di mata publik.
Panggilan kepada Kapolri dan Kompolnas
Kasus ini menyisakan pertanyaan besar
Mengapa laporan ini diterima oleh Polda Jateng?
Apakah penyidik telah membaca dokumen-dokumen kesepakatan tahun 2017?
Adakah motif tersembunyi di balik pemrosesan laporan ini?
Utomo pun menyerukan agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Kapolda Jateng, dan Kompolnas segera turun tangan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses ini.
“Ini preseden buruk. Jika dokumen tak berlaku bisa digunakan seenaknya untuk menggiring seseorang ke jeruji besi, maka rusaklah hukum kita!” seru Utomo.
Perspektif Hukum: Pidana Tak Selalu Bisa Duluan
Nur said kuasa hukum utomo juga menambahkan Dalam beberapa kasus, hukum pidana memang dapat didahulukan, seperti dalam tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di sana disebutkan bahwa penyidikan dan pemeriksaan pidana harus diprioritaskan.
Namun, dalam kasus seperti yang menimpa Utomo, justru relevan untuk menerapkan prinsip hukum “Prejudiciel Geschil”. Istilah ini merujuk pada sengketa perdata yang harus diselesaikan terlebih dahulu, sebelum perkara pidana dapat diproses lebih jauh. Dalam konteks ini, keabsahan dokumen dan hubungan hukum antara pihak-pihak adalah aspek perdata yang menjadi fondasi kasus pidana.
“Jangan sampai perkara perdata yang belum selesai dijadikan pintu masuk untuk kriminalisasi. Ini menyimpang dari semangat keadilan hukum,” ujar Nir Said
Hukum Harus Berdiri Tegak
Kasus ini menjadi ujian penting bagi integritas aparat penegak hukum di Indonesia. Jika laporan berdasarkan dokumen tak sah dapat diterima begitu saja, maka setiap warga negara berpotensi menjadi korban kriminalisasi berikutnya. Hukum bukan alat balas dendam, melainkan sarana mencari keadilan.
Pengawasan eksternal dan reformasi internal di tubuh kepolisian menjadi urgensi. Bila tidak, bukan hanya Utomo yang menjadi korban, tapi juga martabat hukum Indonesia yang tercabik cabik.(Hani)