Jepara, suaragardanasional.com | Kasus penolakan praperadilan oleh Hakim Tunggal PN Jepara terhadap permohonan Hammatussolikhah binti Mutawar (mantan Kasi Kesejahteraan Desa Dudakawu, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara) menjadi perhatian karena menunjukkan adanya ketidaktepatan dalam penerapan yurisprudensi dan asas hukum acara pidana.
Dalam putusannya, hakim menegaskan bahwa penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan oleh penyidik Unit Tipikor Polres Jepara telah sesuai dengan prosedur hukum. Namun, jika dikaji secara mendalam berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan prinsip due process of law, maka pertimbangan hukum hakim tidak selaras dengan perkembangan hukum acara pidana modern di Indonesia.
1. Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 yang Dikesampingkan
Yurisprudensi penting yang paling relevan adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, yang memperluas objek praperadilan untuk mencakup pengujian keabsahan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
MK menegaskan:
_“Penetapan tersangka harus didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan hal itu dapat diuji dalam forum praperadilan sebagai bentuk perlindungan hak asasi seseorang dari kesewenang-wenangan penyidik.”_
Dengan demikian, hakim praperadilan berkewajiban menilai ada atau tidaknya bukti permulaan yang cukup dalam proses penetapan tersangka.
Namun, dalam perkara ini, hakim PN Jepara justru menyatakan bahwa bukti permulaan “tidak relevan” karena sidang praperadilan bukan forum untuk menilai substansi pidana. Sikap tersebut bertentangan langsung dengan semangat Putusan MK 21/2014, yang secara eksplisit membuka ruang bagi pengujian substansi keabsahan penetapan tersangka, bukan sekadar aspek administratif.
2. Kekeliruan dalam Menempatkan SEMA dan Peraturan BPK sebagai Dasar Utama
Hakim menjadikan SEMA No. 2 Tahun 2004, SEMA No. 4 Tahun 2016, dan Peraturan BPK No. 1 Tahun 2017 sebagai dasar utama dalam pertimbangan hukumnya. Padahal, secara hierarki norma, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) bukan merupakan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dengan mengutamakan SEMA dan Peraturan BPK, hakim justru mengabaikan asas lex superior derogat legi inferiori, karena norma di bawah tidak boleh meniadakan hak konstitusional yang diatur dalam undang-undang dan konstitusi.
Hak konstitusional untuk memperoleh pemeriksaan yang adil dijamin dalam:
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945:
_“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Seharusnya, hakim mendasarkan pertimbangannya pada KUHAP (Pasal 77–83) dan tafsir konstitusional dari MK, bukan pada SEMA yang bersifat administratif dan interpretatif internal MA._
3. Kesalahan Tafsir terhadap Kewenangan Audit Kerugian Negara
Dalam amar pertimbangannya, hakim menyebut bahwa hanya BPK yang berwenang menentukan adanya kerugian keuangan negara, mengacu pada SEMA No. 4 Tahun 2016. Padahal, tafsir tersebut tidak sesuai dengan t
Beberapa putusan relevan:
- Putusan MA No. 1044 K/Pid.Sus/2014 menegaskan bahwa hasil audit dari BPKP atau Inspektorat Daerah dapat dijadikan dasar penyidikan tindak pidana korupsi selama dilakukan sesuai standar pemeriksaan dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
- Putusan MK No. 31/PUU-X/2012 juga memperkuat pandangan bahwa penghitungan kerugian negara bukan domain eksklusif BPK, melainkan dapat dilakukan lembaga lain yang memiliki kompetensi audit.
Artinya, hakim PN Jepara telah terlalu formalistik, dan mengabaikan pendekatan hukum progresif dalam menilai sah tidaknya proses penyidikan. Fokus seharusnya bukan pada lembaga yang menghitung, melainkan substansi kerugian negara dan keabsahan metodologi audit.
4. Pengabaian terhadap Asas “Due Process of Law” dan “Equality Before the Law”
Hakim menyimpulkan bahwa tindakan penyidik “telah sesuai prosedur hukum”, tetapi tidak dijelaskan apakah seluruh tahapan penetapan tersangka, pemanggilan, penangkapan, dan penahanan telah memenuhi prinsip due process of law sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP dan dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Prinsip “due process” menuntut adanya pemeriksaan yang jujur, objektif, dan transparan, di mana tersangka berhak mengetahui dasar penetapan dirinya, serta bukti apa yang digunakan oleh penyidik. Ketika hakim menolak memeriksa bukti permulaan, maka fungsi kontrol yudisial terhadap tindakan penyidik menjadi hilang. Ini juga mengabaikan prinsip “equality before the law”, di mana individu berhak memperoleh perlakuan setara di hadapan hukum, termasuk kesempatan membela diri melalui mekanisme praperadilan.
Yurisprudensi penting lain yang seharusnya menjadi rujukan adalah Putusan PN Jakarta Selatan No. 04/Pid.Pra/2015/PN.Jkt.Sel dalam perkara Komjen Pol Budi Gunawan, di mana hakim praperadilan menilai substansi bukti permulaan dan menyatakan penetapan tersangka tidak sah karena tidak memenuhi syarat minimal alat bukti.
5. Pengabaian Kewajiban Hakim untuk Menggali Keadilan Substantif
Sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Namun, dalam putusan PN Jepara ini, hakim tampak hanya menekankan legalitas formal tindakan penyidik tanpa menggali substansi keadilan. Dalam hukum progresif yang dikemukakan
Prof. Satjipto Rahardjo, hakim tidak cukup hanya menjadi “corong undang-undang,” melainkan harus berani menembus batas formalistik demi menegakkan keadilan substantif.
Sikap formalistik hakim dalam kasus ini menutup peluang koreksi terhadap penyidik yang mungkin menetapkan tersangka tanpa audit yang final dan sah, atau tanpa bukti permulaan yang cukup. Akibatnya, praperadilan kehilangan fungsi utamanya sebagai mekanisme check and balance terhadap kekuasaan penyidikan.
Kesimpulan
Berdasarkan seluruh yurisprudensi dan norma hukum acara pidana yang berlaku, dapat disimpulkan bahwa:
- Hakim PN Jepara telah mengabaikan perluasan kewenangan praperadilan sebagaimana ditetapkan dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014;
- Penafsiran formalistik terhadap kewenangan audit BPK bertentangan dengan Putusan MA No. 1044 K/Pid.Sus/2014 dan Putusan MK No. 31/PUU-X/2012;
- Asas due process of law dan equality before the law tidak dijalankan secara substansial;
- Hakim tidak menjalankan kewajiban konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 48/2009, yakni menggali rasa keadilan dalam masyarakat.
Dengan demikian, dari perspektif yurisprudensi dan asas hukum acara pidana, putusan hakim PN Jepara yang menolak praperadilan kasus Tipikor Dudakawu dapat dikatakan tidak tepat dan berpotensi melanggar prinsip keadilan konstitusional.
Disclaimer
Daftar Referensi
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
- Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014
- Putusan MK No. 31/PUU-X/2012
- Putusan MA No. 1044 K/Pid.Sus/2014
- Putusan PN Jaksel No. 04/Pid.Pra/2015/PN.Jkt.Sel
- Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, 2016
- Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Kompas, 2009. ,(Hani)

